Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa penanganan hukum terhadap Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, tidak melibatkan unsur politik. Jaksa menjelaskan bahwa kasus yang menjerat Hasto ditindaklanjuti semata-mata untuk menjaga tegaknya hukum. Pernyataan ini disampaikan dalam sidang kasus dugaan suap dan penghalangan penyidikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 27 Maret 2025.
Penegakan Hukum Tanpa Motif Politik
Dalam membacakan jawaban atas eksepsi yang diajukan oleh tim pengacara Hasto, jaksa menegaskan bahwa penahanan dan penuntutan terhadap Hasto tidak didasari motif politik atau balas dendam di luar koridor hukum. Jaksa menolak klaim yang menyebutkan adanya motif politik dalam penanganan kasus tersebut, sebagaimana diutarakan dalam eksepsi hukum.
“Dalam eksepsi, terutama pada halaman 2-5 dan argumen hingga halaman 13-40, termohon kasasi (Hasto) dan kuasa hukumnya berpandangan bahwa penuntutan dalam perkara ini bermuatan politis dan balas dendam, yang disertai dengan tuduhan menggunakan alat hukum untuk tujuan tertentu,” ujar jaksa.
Penegasan Mengenai Dalih Politik
Jaksa menilai klaim adanya motif politik sebagai asumsi dari pihak terdakwa dan tim pembela. Mereka menyatakan bahwa penanganan kasus Hasto didasarkan pada bukti yang cukup sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.
“Kami tegaskan, perkara terdakwa ini murni upaya penegakan hukum berdasarkan alat bukti yang sah, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” tambah jaksa.
Dakwaan Terhadap Hasto Kristiyanto
Hasto Kristiyanto didakwa oleh KPK karena diduga telah memberikan suap dan melakukan penghalangan terhadap penyidikan terkait kasus buronan, Harun Masiku. Hasto dituduh menghalangi KPK dalam upaya penangkapan Harun Masiku sejak tahun 2020. Selain itu, Hasto juga didakwa memberikan suap sebesar Rp 600 juta kepada mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan, untuk mengurus pergantian antarwaktu anggota DPR.
“Terdakwa bersama-sama Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku diduga memberikan uang sejumlah SGD 57.350 atau setara Rp 600.000.000 kepada Wahyu Setiawan, anggota KPU, agar mengurus pergantian antarwaktu anggota DPR,” jelas jaksa.
Kasus ini terus bergulir di pengadilan, di mana KPK menjaga agar proses hukum tetap berjalan tanpa adanya intervensi politik, sesuai dengan prinsip penegakan hukum yang adil dan berkeadilan.